MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM BANI ABBASIYAH
MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM BANI
ABBASIYAH
DosenPengampu :Is Susanto, S.H.I, S.E.I
Disusun Oleh
Nama : Febry Saputra (1521010071)
:
Fernanda Khatami (152101017)
Fak/Jur/Smt : Syariah/Ahwal As-syaksiah/1
Kls : B
FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
RADEN
INTAN LAMPUNG
TA. 2015/2016
KATA PENGATAR
Assalamuailaikum, Wr, Wb.
Puji Syukur kita
panjatkan kepada Allah Swt. Berkat-Nya lah kami dapat
Menyelesaikan penulisan makalah
dengan baik, dengan Ridho dan Hidayah-Nya lah kami membuat makalah ini dengan
penuh semangat. Kami sangat bersyukur atas semua ini,
dimana kami telah menyelesaikan ini
dengan waktu yang telah di tentukan.
Dalam
pembuatan makalah ini, kami mereferensikan dari buku-buku penunjang dan
internet untuk pembahas ini, yang memberikan informasi yang baik untuk kita
pelajari.
Mudah-mudahan dalam makalah ini bisa
bermanfaat untuk kita semua.
Makalah
kami tentu ada yang kurang dan masih banyak sekali yang harus di lengkapi,
demi sebuah pencapaian yang sempurna,
dari sini kami membutuhkan kritik dan sarannya bagi para pembaca untuk
memberikan masukan yang lebih baik dari ini.
Terima
kasihatas perhatian dan kerjasamanya dalam hal peningkatan pembuatan
makalah ini
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Bandar
Lampung, 20 Nopember 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradaban islam mengalami puncak
kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju
yang diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke
dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan
terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan
berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan
dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para
ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan
dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah berdirinya bani Abbasiyah?
2.
Bagaimana
perkembangan ilmu pengetahuan, bidang pemerintahan, bidang ekonomi dan
lain-lain pada bani Abbasiyah?
3.
Faktor apa saja yang
menyebabkan runtuhnya daulah Abbasiyah ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah
2.
Untuk
mengetahui perkembangan ilmu dan ilmuwan yang berpengaruh pada masa dinasti
Abbasiyah
3.
Untuk mengetahui
perkembangan-perkembangan yang sangat menonjol pada bani abbasiyah
BAB II
PEMBAHASAN
22.1 Sejarah Berdiri Khilafah Bani Abbasiyah Dan Puncak
Keemasaannya
Di antara yang mempengaruhi
berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah terdapatnya beberapa kelompok umat
yang sudah tidak mendukung kekuasaan imperium bani Umayah yang notabenenya
korupsi, sekuler dan memihak sebagian kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah
dan Khawarij serta kaum Mawali yaitu orang-orang yang baru masuk islam yang
mayoritas dari Persi. Mereka merasa di perlakukan tidak setara dengan kelompok
Arab karena pembebanan pajak yang terlalu tinggi kelompok ini lah yang
mendukung revolusi Abbasiyah
Kekuasaan bani Abassiyah berlangsung
dalam kurun waktu yang sangat panjang berkisar tahun 132 H sampai 656 H
(750 M-1258 M) yang dibagi menjadi 5 periode :
1 .
Periode
pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M). Di sebut periode pengaruh Persia pertama.
2 .
Periode kedua (232 H/847 M- 334 H/945 M). Di sebut masa pengaruh Turki
pertama.
3 . Periode ke tiga (334 H/ 945 M – 447 H/1055 M). Masa kekuasaan dinasti Buwaih
atau pengaruh Persia kedua.
4 . Periode ke empat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M). Merupakan kekuasaan dinasti
bani Saljuk dalam pemerintahan atau pengaruh Turki dua.
5 . Periode ke lima (590 H/1194 M – 565 H/1258 M). Merupakan masa mendekati
kemunduran sejarah peradaban islam.
Pada periode pertama
pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun
dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu
al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat
singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu
Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras
menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani
Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi
saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin
Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh
karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu
Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian
menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M,
karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara
adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru
berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru
dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas
berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban
pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan
yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat Wazir sebagai
koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid
bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga
membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di
samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad
ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga
kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekadar untuk
mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun
seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat
berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku
gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan
diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di
antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat
Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai
dengan kaisar Constantine
V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki
Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus, dan India.
“
|
Innama
anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di
bumi-Nya)
|
”
|
Dengan demikian, konsep
khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan
mandat dari Allah, bukan dari
manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani
Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah
memakai "gelar takhta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar
takhta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan
daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan
al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun
Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian
melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga
dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak
membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun
Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809
M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk
keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan
farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di
samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan
berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta
kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing
digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa
billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang
Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani
Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan
dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas
sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika
Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antarbangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat
dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani
Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada
perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Di samping
itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman
Bani Umayyah.
- Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas,
puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari
kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai
sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam,
lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan
terdiri dari dua tingkat:
- Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian
berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan
dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas,
karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca,
menulis, dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan
terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat
ditentukan oleh perkembangan bahasa
Arab, baik sebagai bahasa
administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani
Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu
pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh
dua hal, yaitu:
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
- Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan
bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan
saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu
pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode,
penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional
dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional
yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan
pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan
Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi,
(tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan
ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama
dalam ilmu teologi. Perkembangan
logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu
tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang
empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam
Abu Hanifah Rahimahullah (700-767
M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi
di Kufah, kota yang
berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih
tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional
daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun
Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah
(713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat
dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam
Syafi'i Rahimahullah (767-820
M), dan Imam
Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855
M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits
Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta
pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan
memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Di samping empat
pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para
mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan
madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran
dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah
ada pada masa Bani
Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi
rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya
yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan
Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu
al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali
terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya
adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra.
Penulisan hadits, juga
berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh
tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan
penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan
terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi
terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard
Cremona dan Johannes
Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran
dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi
adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu
Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya
adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran
paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali
al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di
Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya
ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya
bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir
ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam
seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan
mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad
ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga
mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa
al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang
filsafat, antara
lain al-Farabi, Ibnu Sina,
dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi
banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan
interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di
antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal
dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana
terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran
di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah
diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir
zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini
memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan
Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan
mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal
di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam
seperti Al-Biruni dan
sebagainya.
2.2 Masa Disintegrasi (1000 – 1250 M)
1. Dinasti-Dinasti yang Memerdekakan
Diri Dari Baghdad.
Disintegrasi
dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman bani
Umayyah. Akan terlihat perbedaan antara pemerintahan bani Umayyah dengan
pemerinatahan bani Abbasiyah. Wilayah kekuasaan bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa
keruntuhanya, sejajar dengan batas wilayah kekuasaan Islam. Ada kemungkinan
bahwa para khalifah Abbasiah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari
propinsi-propinsi tertentu. Dengan pembiayaan upeti. Alasanya, pertama mungkin
para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, kedua,
penguasa bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan
dari pada politik dan ekspansi.
Akibat dari
kebijaksanaan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam dari pada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran
mulai lepas dari genggaman penguasa bani Abbas, dengan berbagai cara
diantaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka
berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulah Umayyah di Spanyol
dan Idrisiyah di Maroko. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh
kholifah, kedudukanya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di
Tunisia dan Thahiriyah di Khurasan.
Kecuali bani
Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, propinsi-propinsi itu pada mulanya
patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah
mampu mengatasi pergolakan yang muncul. Namun, saat wibawa khalifah sudah
memudar mereka melepaskan diri dari Baghdad. Mereka tidak hanya menggerogogoti
kekuasaan, bahkan diantara mereka ada yang berusaha mengusai kholifah itu
sendiri.
Menurut Watt,
sebenarnya keruntuhan kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad
kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pimimpin yang
memiliki kekuasaan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka
benar-benar independen.
Dinasti dinasti
yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah
Abbasyiah, diantaranya adalah :
1.
Yang berbangsa
Persia :
a.
Thahiriyah di
Khurasan (205-259 H/820-872 M)
b.
Shafariyah di
Fars (254-290 H/868-901 M)
c.
Samaniyah di Transoxania
(261-289 H/873-998 M)
d.
Sajiyyah di Azerbeijan
(266-318 H/878-930 M)
e.
Buwaihiyah
bahkan menguasai Baghdad (320-447 H / 932-1055 M)
2.
Yang berbangsa
Turki
a.
Thuluniyah di
Mesir (254-292 H/837-903 M)
b.
Ikhsyidiyahdi
Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c.
Ghazanawiyah di
Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
d.
Dinasti Seljuk dan
cabang-cabangnya
·
Seljuk besar
atau Seljuk agung (429-522 H/1037-1127 M)
·
Seljuk Kirman
di Kirman (433-583 H/1040-1187 M)
·
Seljuk Syiria
atau Syam di Syiria (487-511 H/1094-1117 M)
·
Seljuk Irak di
Irak dan Kurdistan (511-590 H/1117-1194 M)
·
Seljuk Rum atau Asia kecil di
Asia kecil (470-700 H/1077-1299 M)
3.
Yang berbangsa
Kurdi
a.
Al Barzuqani
(348-406 H/959-1015 M)
b.
Abu Ali
((380-489 H/990-1095 M)
c.
Ayubiyah (564-
648 H/1167-1250 M)
4.
Yang berbangsa
Arab
a.
Idrisiyah di
maroko (172-375 H/788-985 M)
b.
Aghlabiyah di Tunisia (184-289
H/800-900 M)
c.
Dulafiyah di Kurdistan
(210-285 H/825-898 M)
5. Yang mengaku dirinya sebagai kholifah
a.
Umawiyah di spanyol
2. Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
Faktor lain
yang menyebabkan peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di
pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Nabi Muhammad memang tidak
menentukan bagaiman acara penggantian pemimpin setelah ditinggalkanya. Beliau
menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan
yangberkembang dikalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam.
Setelah nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat diantara kaum muhajirin dan
anshar dibalai kota bani Sa’idah di madinah. Akan tetapi, karena pemahaman
keagaamaan mereka yang baik, semangat musyawarah, ukhuwah yang tinggi,
perbedaan itu dapat diselesaikan. dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.
Pertumpahan
darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa
kekhalifahan Ali bin abi thalib. Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkanya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Muchtar.
Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkanya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh Ali Muchtar.
Pada
pemerintahan bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama
di awal berdirinya. Ditangan tentara Turkilah khalifah bagaikan boneka yang tak
bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah
sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tanagn
orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945 M-447
H/1055 M), Daulah Abbasyiah berada dibawah kekuasaan bani Buwaih.
Kelahiran bani
Buwaih berawal dari tiga orang putra Abu Syuja’ Buwaih, pencari ikan yang
tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari
kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika itu
dipandang banyak mendatangkan rizki. Keadaan khalifah lebih buruk dari pada
masa sebelumnya, terutama karena bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah,
sementara bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan bani Buwaih sering
terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlus sunnah dan Syi’ah, pemberontakan
tentara tersebut.
Setelah Baghdad
dikuasai, bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di
tengah kota bernama Dar Al Mamlakah. Tetapi, kendali politik berada di Syiraz,
tempat Ali bin Buwaih (saudara tertua) bertahta. Para pegnguasa bani Buwaih
mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan dan kesusteraan.
Kekuasaan
politik bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga saudara
tersebut. Kekuasaan menjadi ajang pertikaian di antara anak-anak mereka.
Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat.
Faktor-faktor
yang membawa kemunduran dan kehancuran bani Buwaih yaitu :
1. Faktor internal
Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan dan Pertentangan dalam tubuh
militer
2. Faktor
eksternal
Semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam. Semakin
banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan Baghdad.
Dinasti Seljuk berhasil merebut keuasaan dari bani Buwaih . jatuhnya
kekuasaan bani Buwaih kedatangan Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di
dalam negeri. Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku
Ghuz di wilayah Turkistan. Setelah Seljuk meninggal, kepemimpinana di lanjutkan
oleh anaknya, Israil. Namun Israil dan Mikail, penggantinya ditangkap oleh
penguasa Ghaznawiyah. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugrul bek.
Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Seljuk berkuasa.
Kewibawaan dalam bidang agama di kembalikan setelah beberapa lama dirampas
orang-orang Syi’ah. Bukan hanya pembangunana mental spiritual, dalam
pembangunan fisik pun dinasti Seljuk banyak meninggalkan jasa. Seperti masjid,
jembatan, irigasi, jalan raya.
Setelah Maliksyah dan perdana menteri Nizham Al Mulk wafat Seljuk besar
mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan dianatar
anggota keluarga, setiap propinsi berusaha melepaskan diir dari pusat,
konflik-konflik da peperangan antar anggota keluarga.
3. Perang Salib
Perang Salib (perang suci) ini terjadi pada tahun 1905, saat Paus Urbanus
II berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa
Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat kristen
yang hendak berziarah ke sana.
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang
dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M).
Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini
berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari
tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini
menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat
Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah
dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan
dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan
beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan
itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan
berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru
kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang SUCI. Perang ini kemudian
dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.
1. Periode
Pertama
Pada musim
semi tahun 1095 M; 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan
Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib
yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan
besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun
1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I
dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai
Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi
rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan
mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait
al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota
Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka
mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.
2. Periode
Kedua
Imaduddin
Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah,
dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan
oleh puteranya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea
pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan
Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus
Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis
Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk
merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh
Numuddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad
II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M.
Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil
mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan
Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M.
Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun
berakhir.
Jatuhnya
Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib.
Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh
Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan
Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M.
Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil
merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi
mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M,
dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan
Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang
pergi berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
3. Periode
Ketiga
Tentara
Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka
berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat
bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil
menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al- Malik
al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick
bersedia melepaskan Dimyat, sementara al- Malik al-Kamil melepaskan Palestina,
Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim
bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat
direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik
al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti
Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang
oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh
kaum muslimin, tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur.
Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari
sana.
Walaupun
umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun
kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di
wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam
menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi
malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari
pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
4. Sebab Sebab
Kemunduran Pemerintahan Bani Abbas
Sebagai mana
terlihat dalam periodesasi khilafah Abbasyiah , masa kemunduran dimuilai sejak
periode kedua, namun demikian faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak
datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama,
hanya khalifah pada periode itu sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat
berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat,
para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil. Tetapi jika
kholifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan
Disamping
kelemahan kholifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasyiah
hancur. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Luasnya wilayah
yang harus di kendalikan
Ini sama seklai bukanya tidak dapat diatasi, tetapi salah satu persyaratan
untuk mempersatukan wilayah yang sangat luas harus ada suatu tingkat saling
percaya yang tinggi di kalangan penguasa-penguasa utama dan pelakasana
pemerintah,. Penghukuman mati, sering setelah disiksa, adalah perlakuan biasa
terhadap para wazir yang di berhentikan, pemenjaraan dan penyitaan harta adalah
praktek normal.
Dalam keadaan seperti itu hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang pasti akan mencari keuntungan bagi dirinya dengan merugikan orang lain, dan akibatnya adalah makin sulit bagi khalifah untuk memperoleh orang-orang yang akan di tunjuk sebagai gubernur propinsi yang bisa dipercaya.
Dalam keadaan seperti itu hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang pasti akan mencari keuntungan bagi dirinya dengan merugikan orang lain, dan akibatnya adalah makin sulit bagi khalifah untuk memperoleh orang-orang yang akan di tunjuk sebagai gubernur propinsi yang bisa dipercaya.
2. Meningkatnya ketergantungan pada tentara bayaran.
Hal ini berhubungan dengan perkembangan-perkembangan dalam tekhnologi
militer. Pemakaian tentara bayaran juga berarti bahwa makin banyak uang di
keluarkan makin kuat tentara yang dimiliki. Demikianlah untuk mempertahankan
posisinya kholifah memerlukan kekuatan militer yang cukup untuk menanggunlangi
beberapa gubernur pembangkang pada saat yang sama, tetapi beban keuangan ini
makin lama makin sulit diatasi.
3. Keuangan
Begitu kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup mengirimkan pajak
ke Baghdad dan penghasilan menurun dan ini bisa berarti ada pemberontakan oleh
tentara atau kekuatan militernya berkurang sehgingga berkurang pula kemampuan
nya mengumpulkan pajak. Karena tidak ada bank yang dimintai pinjaman uang oleh
kholifah, maka jalan satu-satunya dalam kedaruratan keuangan ini ialah
menerapkan denda yang besar, atau penyitaan begitu saja, dari orang-orang kaya
yang bagaimanapun sebagaian besar kekayaanya mungkin di dapat secara tidak sah.
Berbagai hal lain juga disebutkan yang memperparah kesuliatan keuangan. Tentara di beri tanah bukanya uang, dan ini mengurangi jumlah yang harus dibayar keperbendaharaan Negara. Untuk menghindari penyitaan orang-orang memberikan harta berdasar waqaf dan ini bisa di berikan kepada keluarganya sendiri.
Berbagai hal lain juga disebutkan yang memperparah kesuliatan keuangan. Tentara di beri tanah bukanya uang, dan ini mengurangi jumlah yang harus dibayar keperbendaharaan Negara. Untuk menghindari penyitaan orang-orang memberikan harta berdasar waqaf dan ini bisa di berikan kepada keluarganya sendiri.
4
. Persaingan antar bangsa.
Khilafah Abbasyiah didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan
orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib yaitu
sama-sama ditindas pada masa bani Umayyah. Ada sebab-sebab dinasti Abbas
memilih orang- orang Persia dari pada orang Arab. Pertama, sulit, bagi
orang-orang arab untuk melupakan bani Umayyah.
Kedua, orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ushabiyah kesukuan.
Meskipun demikian, orang-orang Persia itu merasa puas. Mereka menginginkan dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah (ras)istimewa dan mereaka menganggap rendah bangsa non Arab di dunia Islam.
Meskipun demikian, orang-orang Persia itu merasa puas. Mereka menginginkan dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah (ras)istimewa dan mereaka menganggap rendah bangsa non Arab di dunia Islam.
Setelah Al Mutawakkil, seoratng khalifah yang lemah naik tahta, dominasi
tentara Turki tak terbendung lagi sejak saat itu kekuasaan bani Abbas
sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi
ini kemudian di rebut oleh bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan
selnajutnya beralih pada dinasti Seljuk.
5. Kemerosotan ekonomi
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran. Pendapatan Negara menurun.
Sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunya pendapatan karena makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyak terjadi kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat, di peringanya pajak, sedangkan banyak dinasti-dinasti
kecil yang memerdekakan diri dan tidak mau membayar upeti. Sedangkan
pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah
semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan
korupsi.
6. Konflik keagamaan
Konflik yang dilatar belakangi agama tak terbatas pada konflik anatara
muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi’ah saja. Tetapi juga antara
aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat
bid’ah oleh golongan salaf. Perselisihan antar dua golongan ini di pertajam
oleh Al Ma’mun, dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi Negara dan
melakukan mihnah. Pada masa Al Mutawakkil (847-861) aliran Mu’tazilah di
batalkan sebagai aliran Negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak
toleranya pengikut Hambali (salaf) terhadap Mu’tazilah yang rasional telah
menyempitkan horizon intelektual.
7. Ancaman dari luar
Adapun faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasyiah lemah dan
akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau
periode yang menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah
kekuasaan Islam. Pengaruh salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol,
Hulago Khar, panglima tentara Mongol sangat membenci Islam karena ia banyak di
pengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian.
8. Pertentangan internal keluarga
Didalam pemerintahan terjadi konflik keluarga yang berkepanjangan. Ribuan
orang terbunuh akibat peristiwa Al Mansur melawan Abdullah bin Ali pamanya
sendiri dan Al Masum Al Mu’tasim melawan Abbas bin Al Ma’mun. Konflik ini
meyebabkan keretakan psikologis yang dalam dan menghilangkan solidaritas
keluarga, sehingga mengundang campur tangan dari luar.
9.Kehilangan kendali dan munculnya daulah-daulah kecil
Faktor kepribadian sangat menentukan pula keberhasilan seorang pemimpin.
Kelemahan pribadi diantara kholifah Abbasyiah mengakibatkan kehancuran system
khilafah. Terutama karena terbuai kehidupan mewah, perdana menteri seenaknya
menentukan kebijakan para khalifah . mereka menggunakan kekuatan dari luar
untuk mempertahankan pemerintahanya seperti orang Turki, Seljuk, dan
Buwaihi-khawarizmi, kekuatan dari luar lebih mengakibatkan kehancuran.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dinasti
abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H – 656 H.
2. Bidang-bidang
ilmu pengetahuan umum yang berkembang pada masa dinasti abbasiyah yaitu
filsafat, ilmu kalam, ilmu kedokteran, ilmu kimia, ilmu hisab, sejarah, ilmu
bumi dan astronom.
3. Bidang-bidang
ilmu pengetahuan keagamaan berkembang pada masa ini yaitu: ilmu hadist, ilmu
tafsir, ilmu fiqih, tasawuf.
4. Masa
disintegrasi
1. Dinasti-dinasti
yang memerdekakan diri dari Baghdad
2. Perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan
3. Perang salib
4. Sebab-sebab
kemunduran pemerintahan Bani Abbas
DAFTAR
PUSTAKA
Leave a Comment